DUNIA GILA
“Marni….! Marni..!!”
Wanita yang disoraki berlari mengejar.
“Haha….ha…!!” derai tawa anak-anak itu pecah.
“Berhenti..berhenti..!” teriak seorang perempuan tua dari pekarangan rumahnya.
Sekumpulan bocah-bocah berlari terbirit-birit disertai tawa puas.
“Tak apa-apa, nak?” wanita itu menghampiri korban.
Marni- gadis itu – tak peduli. Ia bahkan sibuk tertawa-tawa sendiri melihat sekumpulan semut yang berbaris mengangkut remah-remah nasi.
Mbah Anun- Raihanuun- mendesah nafas. Kasihan kamu, nak. Seharusnya masih banyak yang dapat kamu lakukan dengan umur yang masih muda ini, gumam Mbah Anun.
Marni menoleh seketika kemudian tertawa lagi.
***
Kate menyapukan blush on ke pipinya yang mulus. Pipi itu makin ranum. Hmm…aura kecantikannya makin kentara dengan lipstik merah muda yang membungkus bibir tipisnya yang sensual. Rambutnya yang tergerai panjang bergelombang menjuntai melewati bahunya yang kecil tapi tegas. Rambut itu berkibar sedetik tertiup AC yang senantiasa berhembus di dalam ruangan kecil namun mewah itu. Kibasan rambutnya yang indah menampakkan leher jenjangnya yang mulus sehingga membayang urat-urat lehernya yang tipis kebiruan. Di leher mulus seindah pualam itu melingkar kalung berlian berkilauan terpantul cahaya lampu di atas kepalanya. Membuat pesona kecantikannya makin terpancar.
Kate tersenyum puas melihat pantulan fisik sempurnanya di cermin rias. Cantik!
“Au! “ jeritan halus tiba-tiba keluar dari sela bibirnya yang basah.
Kepala Kate membentur kaca. Rupanya ia terlalu dekat memelototi keindahannya di cermin.
Kate meringis. Bercak kemerahan timbul samar di jidatnya yang mulus.
***
Marni tersentak. Sebutir kerikil kecil mengenai keningnya. Menghadiahkan warna kemerahan di sana.
Matanya bergerak liar. Mungkin mencari pelakunya.
Ia menggeram. Geraman marah barangkali.
Seorang pemuda tanggung keluar dari sela-sela rerimbunan daun pandan sembari tertawa.
“Mantap!” sebuah suara terdengar dari atas cabang-cabang pohon alpukat yang tak seberapa jauh dari tempat Marni berdiri.
Pemuda tanggung yang baru keluar dari rerimbunan pandan tersenyum penuh kebanggan sembari mengacungkan jempol ke arah temannya yang bertengger di salah satu cabang alpukat.
“Sekarang…” pemuda kedua bergegas menuruni pohon alpukat yang diameter batangnya seukuran drum minyak itu. “Mana uang taruhannya?” sambungnya setelah kakinya menjejak tanah.
Pemuda pertama mengerucutkan bibirnya. Tangan kanannya merogoh uang dari saku belakang jeansnya yang kumal.
Pemuda kedua mendekati temannya sembari tertawa puas. Sebelum menerima selembar uang rp. 5.000,- yang diulurkn oleh temannya, ia terlebih dulu menepuk-nepuk pelan telapak tangannya.
“Ikhlas?” kerling pemuda kedua kepada temannya.
Pemuda pertama mengangguk pelan-tak rela-.
Pemuda kedua tertawa terbahak-bahak kesenangan melihat derita kalah taruhan temannya.
“Apa aku bilang…”
Bug!
Jeritan terdengar dari arah Marni berdiri.
“Mampus!” caci pemuda pertama.
“Ha..ha…gila lo! Kenapa Marni yang jadi sasaran? Jidatnya tambah benjol tuh!” ujar pemuda kedua masih mengibaskan selembar lima ribuan itu ke udara.
“Gadis gila sialan!” umpat pemuda pertama lagi.
Kate menangis sesunggukan. Diana, temannya, berjalan menghampiri.
“Kenapa lagi sih, nek?”
“Jidat gue nih!” jawab Kate menunjuk jidatnya yang kemerahan.
Diana memutar bola matanya ke atas.
“Plis deh! Gara-gara kejedot doang?”
“Sakit tahu!”
“Tapi jangan nangis bombay gitu dooong…”
“Tapi..”
‘Stop! Gak ada acara nangis-nangisan. Show sebentar lagi dimulai. Buruan benahi make-up lo. Belepotan tuh!” timpal Diana seraya menunjuk bagian-bagian riasan wajah Kate yang belepotan.
***
II
Dewi menjerit-jerit kesakitan. Lecutan ikat pinggang papanya menghujam punggungnya tanpa ampun.
“Am..ampuuuunn..Paaa..” desis Dewi- gadis kecil berumur sepuluh tahun- dengan nada mengiba.
“Tak ada ampun Dewi sebelum kamu jera!” bentak papanya tanpa belas kasih.
“Wi jera, Pa. jera…”
Cambukan di punggungnya semakin kuat dan cepat.
“Maa…” Dewi memandang Nyonya Hendrawan dengan tatapan memohon.
Nyonya Hendrawan mendengus. Ia mengalihkan pandangannya ke luar ruangan melampaui jendela.
“Mama nggak bisa, Dew. Minta ampun sama papa,” jawabnya dengan nada datar.
Dewi menangis sesunggukan. Ia pasrah sekarang. Tinggal menunggu semua penyiksaan ini berakhir…
Malam harinya…
Tuan Hendrawan tengah berbaring di ranjangnya sembari membaca buku. Istrinya berbaring di sampngnya. Tapi sikapnya gelisah. Ia tidak setenang suaminya.
“Pa….” desisnya pelan.
“Heh?” balas Tuan Hendrawan tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang di bacanya.
“Aku mau bicara tentang Dewi.”
“Kenapa?”
“Aku cemas sama perkembangan psikisnya, Pa.”
“Oh ya?” balas Tuan Hendrawan tak antusias.
“Aku serius, Pa!” Nyonya Hendrawan merasa tersinggung dengan respon suaminya yang hambar.
Tuan Hendrawan menutup bacaannya dengan kesal.
“Kenapa lagi sih, Ma?”
“Papa tidak khawatir ya sama Dewi?”
Tuan Hendarawan mendesah nafas berat.
“Apa yang mesti di khawatirkan sih?”
Nyonya Hendarawan memalingkan muka dari suaminya.
“Tidak ada yang aneh dengan anak itu kan?”
“Ya! She’s normally!” timpal Nyionya Hendrawan ketus.
“Kalau gitu apa yang perlu dibahas?” balas Tuan Hendrawan enteng.
Nyonya Hendrawan mengalihkan tatapan tajamnya tepat ke bola mata suaminya.
“Enteng sekali ya, Pa? Tapi mama yakin papa nggak akan seenteng ini kalau nanti punya anak yang abnormal! Heh, apa ya kata orang-orang nanti jika mereka tahu keluarga Hendrawan yang terpandang punya anak gila?!”
“Cukup!” bentak Tuan Hendrawan keras. “Mama mau menyalahkan papa lagi?!”
“Tidak ada yang menyalahkan siapa. Mama cuma ingin anak kita berkembang dengan wajar. Tanpa….ada…te..ka..nan!!!”
Sementara itu…
Dewi duduk termenung di bibir ranjangnya yang terbentang diam. Bagaikan keranda yang mampu menampung empat anak seukuran dia di dalamnya. Sangat luas untuk kerandaku, desis Dewi pelan.
Hati gadis kecil ini lagi tak keruan. Ada banyak rasa yang menggerogoti pikirannya yang bersih. Rasa benci, kesal, dendam, marah berkecamuk jadi satu dengan ambisi-ambisinya yang liar dan penuh vitalitas. Ia tidak mampu menahan semua rasa ini. semuanya berusaha menariknya ke satu titik hitam yang penuh ancaman di pusat otaknya. Tapi semua ini tak mampu ia terjemahkan dengan otaknya yang masih belia.
“Aaaaaaaaaaarrrrggggggg…” ia berteriak kencang. Suara teriakannya teredam oleh bantal yang menutup mulutnya.
Hatinya tak puas. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Rasa sesak itu tetap berusaha mencengkeram hatinya erat-erat.
Dewi bangit dari duduknya dan berlari ke luar kamar. Di pekarangan belakang rumahnya ia berteriak keras. Teriakannya yang sarat tekanan membelah keheningan malam.
***
Beberapa warga berlari menghampiri sebatang pohon belimbing di perempatan jalan dekat Siskamling. Jeritan panjang yang menyayat hati yang berasal dari arah siskamling menarik perhatian mereka.
“Suara siapa? Suara siapa?”
“Kayaknya ada yang minta tolong.”
“Bukan. Jerit perempuan. Nggak ada suara minta tolong.”
“Sudah, sudah. Yang jelas sepertinya perempuan itu sedang kesusahan.”
“Ya, ya. Dia butuh pertolongan. Dirampok atau dianiaya mungkin.”
“Cepat! Cepat!”
Sesampainya di lokasi, wajah mereka semua berubah kecewa. Tidak ada yang butuh pertolongan. Tidak ada yang dianiaya. Tidak ada yang dirampok. Yang mereka temui hanya seorang gadis muda dengan tubuh kumal dan awut-awutan tengah meringkuk dan menagis sesunggukan di bawah pohon belimbing yang disinari bulan setengah yang bercahaya pucat. Dan gadis itu…Marni!
***
III
Mbah Anun berjalan cepat melewati rumah-rumah penduduk yang bersinar pucat. Hari sudah larut malam. Ia sedikit menyesal sudah berlama-lama berkunjung ke rumah Painem, temannya sehari-hari saat mengupas bawang di gudang.
Ya. Mengupas bawang adalah pekerjaan Mbah Anun menjelang siang setiap hari. Pekerjaan sampingan itu ia lakukan sepulang berjualan beras di pasar. Semua keuntungan dan uang yang ia dapat cukup untuk menghidupi kebutuhan dirinya yang tinggal sebatang kara. Suaminya sudah menghadap Ilahi dua belas tahun yang lalu. Menyusul anak semata wayangnya yang lebih dulu berpulang saat berumur sepuluh tahun. Sepeninggal dua orang yang sangat dikasihinya itu, ia tidak pernah berencana untuk membina rumah tangga lagi. Baginya, perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Pernikahan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Jika sudah dua-tiga kali, maka itu bukanlah sebuah perkawinan yang suci lagi.
Mbah Anun menguatkan genggaman tangannya di jaketnya yang sudah tipis dimakan usia. Hawa malam ini sungguh dingin menggigit sampai ke sum-sum. Terpaan angin malam yang berhembus cukup keras bergemuruh di belakangnya. Menggoyang ranting-ranting pepohonan yang berdiri meliuk-meliuk memantulkan sinar-sinar keperakan dari permukan daun.
Samar-samar terdengar isakan pelan terbawa angin dari sebuah rumah tak berpenghuni di ujung jalan yang tinggal beberapa langkah lagi dari tempat Mbah Anun. Bulu kuduknya meremang. Suara siapakah itu?
Semula Mbah Anun ingin mengacuhkan isakan itu. Tapi rasa penasaran melebihi segalanya. Melebihi rasa takut dan waspada yang senantiasa dipeliharanya. Intuisi perempuan, gumamnya berkali-kali.
Ia pun melangkah hati-hati memasuki rumah tanpa penerangan itu.
***
Diana duduk di samping kate. Ia mengelus pundak sahabatnya itu.
“Ada apa lagi sih, Kate?” tanyanya lembut.
Kate menggeleng.
“Insomnia lagi?”
Kate tersenyum kecut.
“Kalau emang insomnia, harus diobatin dong. Lama-lama bisa bahaya tahu.”:
“Nggak segitunya, Di.”
Diana memutar bola matanya.
“Lebih dari sekedar insomnia. Kenangan itu lagi kan?”
Kate menatap Diana tak mengerti.
Diana tertawa sumbar melihat ekspresi Kate.
“Pura-pura bego hah? Mesti sampai kapan sih Kate, kamu harus terikat dengan masa lalu kamu itu?”
“Forever.”
“Shit! Kamu bilang kalau kenangan itu adalah kengangan pahit. Tapo kok, nggak mau melupakan?”
“Aku udah berusaha, Di. Tapi nggak bisa. Semakin kuat aku berusaha melupakan semuanya, semakin kuat pula bayangan hitam itu menyelubungiku,” jawab Kate putus asa.
“Itu karena kamu masih ragu untuk melupakan semuanya, honey. Masih ada dendam di dirikamu kan?”
“Wajar jika aku memendam dendam itu, Di. Tanpa dendam itu aku pasti akan jatuh.”
“Kamu pikir sekarang kamu nggak jatuh? Justru sekarang kamu jatuh karena dendam itu!” balas Diana seraya menunjuk dada Kate.
“Kamu nggak pernah merasakan, Di. Semuanya itu masih menggenang jelas dipusaran darahku.”
“Kayaknya tuh darah mesti dicuci deh!”balas Diana sembari bangkit dari sisi Kate.
***
Sesosok bayangan hitam bergerak-gerak di kegelapan. Degup jantung Mbah Anun berpacu dengan aliran darahnya yang semakin deras sampai kemukanya. Ia tidak percaya apa yang sudah di lihat dan didengarnya.
“Tidak…mana mungkin!” beliau menggeleng-geleng keras.
Semuanya membingungkan. Sangat membingungkan!
***
IV
Empat tahun telah berlalu…
Dewi sudah beranjak remaja. Wajahnya cantik. Namun tak ada aura kebahagian di sana. Semuanya tampak kaku dan pucat. Matanya sayu dan menyiratkan kedukaan. Gerakannya juga kaku. Didikan orang tuanya yang keras sudah menempa kepribadiannya menjadi pribadi yang sebaliknya. Tidak menjadi pribadi yang kuat seperti yang diharapkan, tetapi malahan menjadi pribadi yang rapuh dan kikuk.
Namun, di balik kepribadiannya yang rapuh, sebenarnya tersimpan ambisi liar yang tak pernah padam. Karakter ingin tampil yang selalu dijaganya agar tetap bisa tegar berdiri. Hanya tinggal menunggu waktu untuk meledakkan semua ambisi dan emosinya yang selama ini terkungkung oleh kerasnya didikan orang tua.
Bibir tipis itu menyunggingkan senyum. Senyum licik tepatnya. Senyum yang menyimpan misteri.
Sebentar lagi semuanya harus diakhiri, mulutnya berdesis.
***
Marni mengepalkan kedua belah tangannya kuat-kuat. Matanya bergerak-gerak liar. Ada semangat dan pesan yang tersirat dari setiap gerakan tubuhnya. Tapi entah apa arti semuanya itu. Belum ada yang mampu menembus pikiran gadis gila itu.
Tiba-tiba bibir pucat berdebu itu membentuk seulas senyum yang tertarik sedidkit ke atas. Senyuman itu…
***
“Maafkan aku, Di. Aku mungkin mengecewakanmu,” kata Kate pelan.
Diana tak bergeming.
“Di…”
Diana mengibaskan tangan Kate yang meraih jemarinya.
“Aku tahu, Di, semua yang aku lakukan keliru. Tapi harus bagaimana lagi? Semua perbuatan mereka lakukan padaku tak bisa kumaafkan hingga sekarang. Apa yang mereka lakukan padaku selama aku hidup bersama mereka dulu sudah sangat keterlaluan. Bahkan mengenangnya saja membuat aku merasakan kembali semua rasa sakit dan nyeri yang kualami dulu,” ujar Kate penuh kebencian.
“Semuanya itu mereka lakukan untuk kebaikanmu sendiri, Kate!”
“Nonsens! Kamu lihat saja hasilnya sekarang! What? Apa?! Semua ikatan itu hancur beantakan. Bahkan menimbulkan dendam membara dihatiku, Di.”
“Tapi tanpa mereka kamu tidak akan seperti sekarang ini. Menjadi seorang model terkenal yang dipuja banyak orang.”
“Tanpa merekapun aku mampu mewujudkan semua impianku itu. Seandainya saja aku takluk dengan semua keinginan mereka dulu, entah jadi apa aku sekarang? Mereka berdua tak lebih dari sarana untukku menjejakkan kaki di dunia!”
“Kate!”
***
Marni memejamkan kedua belah matanya. Wajahnya menghadap langit. Bibirnya bergerak-gerak pelan. Sementara kedua belah tanganya terkulai pasrah di samping tubuhnya. Gelagatnya itu menyiratka sekan ia tengah menghirup udara malam ini yang beraroma lembut.
***
Semua penglihatan yang ia saksikan dua malam yang lalu menggelitik alam bawah sadar Mbah Anun. Ia sepenuhnya masih tak percaya dengan semua yang telah ia saksikan. Jadi selama ini hanya pembohongan publik? Tapi apa motivasi dibalik semua kebohongan itu?
Aku harus cari tahu jawaban atas teka-teki ini, tekad Mbah Anun.
***
Dewi melangkah sambil merengut ke ruang makan. Di sana mama dan papanya sudah menunggu.
“Lama amat sih?” tanya mamanya gusar.
“Tugas numpuk.” Jawab Dewi singkat.
Ia segera duduk di kursi di hadapan kedua orang tuanya. Saat menyendokkan nasi ke piring, ia sempat melirik ke papanya yang tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia menggertakkan giginya.
“Ayo buruan!” tegur mamanya.
Dewi tersentak. Buru-buru ia menyendokkan nasi ke piringnya lagi.
Ingat. Tetap jadi anak manis sampai saatnya tiba…, gumam Dewi menenangkan gemuruh di dadanya.
***
V
Mbah Anun tengah duduk santai di teras rumahnya saat Marni melintas. Beliau seketika bangkit. Air mukanya langsung berubah. Rasa penasaran yang tak mampu diungkapkan.
Marni! Hampir saja ia memanggil gadis gila itu.
Marni berhenti. Ia duduk di antara rerimbunan daun lily yang banyak bertebaran di sekitar pekaerangan rumah Mbah Anun. Ia terbahak-bahak sendiri mengais-ngais tanah di sekitar tempat duduknya. Mbah Anun menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Marni. Kasihan kamu Nak. Pasti semuanya terasa berat bagimu sehingga harus mengalami nasib tragis seperti ini. padahal masih banyak yang dapat kamu lakukan dengan umur yang sebelia itu.
***
Sekarang Dewi sudah berumur tujuh belas tahun. Sebentar lagi ia akan menamatkan sekolah tingkat atas. Seringkali angan-angannya membubung tinggi membayangkan kebebasan yang telah didepan mata. Ia akan menggebrak dunia dan memaksa semua manusia di sekitarnya melotot menatap dirinya yang akan tampil beda seratus delapan puluh derajat. Ini akan menjadi kejutan. Shock traphy terutama bagi kedua orang tuanya.
Ya, semuanya harus tunduk terhadap kehendakku. Tak selamanya papa dan mama bisa mendikte kehidupanku. Mereka harus menganggukkan kepala atas semua keputusanku nantinya. Sekarang aku yang harus mengambil alih semua yang telah dilakukan papa dan mama.
Angan-angan itu semakin jauh melampui langit sampai kabar buruk itu datang. Meluluhlantakkan semua ambisi liarnya. Bak petir di siang bolong, menggelegar, menghantam gendang telinganya.
Papanya, ingin menjodohkan dia dengan anak sahabat papanya. Pemuda calon suaminya itu lulusan salah satu universitas terkemuka Indonesia. Berumur dua puluh lima tahun dan sekarang tengah bekerja di salah satu perusahaan kopi milik orang tuanya dengan jabatan sebagai manager.
Dua hari setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Dewi segera mencari informasi tentang sepak terjang Alex, calon suaminya itu. Tidak menggembirakan. Pemuda itu tak seperti yang diterangkan orang tuanya. Dia sama sekali berbeda. Suka minum, gila perempuan dan gemar foya-foya.
Tidak!
Tidak mungkin aku menyerahkan diri pada lelaki berandalan itu. Aku tidak akan pernah mengecap kebahagian. Aku akan jatuh ke mulut Buaya setalah dari mulut Harimau, desis Dewi dalam hati.
Dewi membulatkan tekadnya. Ia akan menentang kehendak gila papanya itu.
Di acara makan malam yang tenang, Dewi memberanikan diri membuka obrolan tentang rencana perjodohan itu.
“Pa, Ma, aku sudah tahu semua mengenai Alex.”
Papa dan mamanya urung menyuapkan nasi ke mulut.
“Oh ya?”balas mama.
Dewi mengangguk.
“jauh dari yang Papa terangkan. Dia bukan pemuda baik-baik,”terang Dewi tanpa tedeng aling-aling.
Tuan Hendrawan menjatuhkan semdoknya. Suara dentingnya terdengar gaduh beradu dengan piring.
“Apa maksud kamu Dewi?” bentak papanya dengan mata melotot.
“Aku tidak suka dengan dia. Aku minta papa membatalkan semua perjodohan ini.”
Plak!
“Lancang kamu!” bentak mamanya.
Dewi meringis menahan sakit di pipinya. Tamparan keras mamanya tak ia sangka sebelumnya.
Sekarang Dewi…
Dewi megepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat. Mukanya memerah. ia mengangkat kepalanya. Menantang mata papa dan mamanya.
“Ma, Pa, tidak selamanya aku akan menuruti semua keinginan Papa dan Mama. Karena aku bukan robot. Aku burung, Ma. Aku ingin bebas, Pa. Tidak selalu di sangkar yang penjaganya tak punya belas kasihan seperti Papa sama Mama.
Cukup! Ya, cukup. Cukup sepanjang hidupku sampai sekarang ini aku mendapatkan perlakuan buruk dari orang tua kandungku sendiri. Aku mampu menahan semua bentuk siksaan dan kerasnya cambukan ikat pinggang Papa. Tapi lebih dari itu, aku menyerah. Aku akan mempertahankan diriku sebisaku. Papa dan Mama tidak bisa menjual aku pada siapapun!
Aku dewi! Dewi yang akan memaksa dunia menatap ke arahku. Kemanapun aku melangkah. Aku dewi! Aku dewi! Aku dewi!”
Dewi berceloteh dengan berapi-api. Disusul deraian tawa. Sekarang semua beban itu lepas sudah.
***
Derai tawa Kate terdengar renyah tapi mendirikan bulu roma. Ia sangat senang mengingat semua kenangan itu. Kenangan yang senantiasa tercetak jelas di saat kebahagiaan tengah menghampirinya.
“Selamat ya, Kate. Penampilan kamu sungguh mempesona malam ini,” tegur Sofyan, sang desainer yang rancangannya dibawakan Kate.
Kate mengangguk sembari menampilkan senyum sekilas nan manis.
“Sama-sama Mas. Berkat Mas juga aku bisa dikenal khalayak seperti sekarang.”
“Tapi bakat kamu memang sungguh luar biasa Kate. Belum lagi pesona fisikmu yang memancarkan aura tersendiri. Aura kecantikan seorang dewi di masa modern. Semua mata yang melihat kamu berlenggak-lenggok di catwalk berdecak kagum. Kamu menyemarakkan show malam ini.”
“Thanks mas. Pujiannya berlebihan ah! Nanti yang lain marah lho..!”canda Kate.
“Yup! Aku jeleous nih!” timpal Diana seraya bersungut-sungut.
Sofyan tersipu malu.
“Kamu juga ruarr biasa, Di. Cantik kayak bidadari.”
“Masa sih?”
Sofyan dan Kate tertawa berbarengan.
“Btw, kok ortu kamu nggak pernah lihat kamu ya, Kate?”
Wajah Kate mengeras.
Diana langsung menggamit lengan Sofyan.
“Jangan membahas topik tabu itu, Mas..” bisik Diana pada Sofyan.
Meski tidak paham mengapa topik itu dianggap tabu bagi Kate, Sofyan toh mengangguk juga.
“Pulang yuk, Di. Aku capek!” ajak Kate seketika.
Diana mengangguk dan memberi isyarat pada Sofyan kalau Kate lagi kena serangan ilang mood. Sofyan mengangguk dengan wajah keheranan.
“Kenapa sih harus mengungkit masalah itu lagi?”tanya Kate dalam perjalanan pulang.
“Nggak semua orang tahu tantang masalah kamu, Kate.”
“Ya. Tapi aku nggak suka!”
Diana menguap lebar. Ia bosan bertengkar dengan Kate gara-gara topik ini.
“Ya udah. Kalau gitu nggak usah dibahas lagi.”
“Tapi aku nggak bisa semudah itu melupakan mereka. Setiap orang menanyakan tentang mereka, rentetan pahit itu tergambar satu persatu di hatiku. Rasa sakit dan kebencian membuncah tak terbendung di sekujur tubuhku. Sampai-sampai tubuhku ini bergetar dan semuanya tak bisa kukendalikan.”
Diana menghela nafas berat. Ia tak bisa berbuiat apa-apa. Ia mengelus-elus pundak Kate berharap mampu menenangkan.
***
Dewi memandangi pose-pose Kate Moss-super model terkenal-yang menjadi idolanya. Semua pose dan foto-foto supermodel dunia itu dikumpulkannya dari SMP sampai Sekarang. Sudah lima album yang ia punya dan semuanya berisi foto-foto sang idola yang ia dapatkan dari berbagai tabloid dan majalah.
Kate Moss adalah inspirasinya. Kate Moss adalah impiannya. Ia sangat ingin menjadi seorang Kate Moss. Menjadi perempuan yang dipuja banyak orang dan terkenal sampai pelosok dunia karena karirnya di dunia modelling yang sukses. Ia ingin tampil di majalah-malah fashion terkemuka selayaknya yang sering dilakukan Kate Moss. Ia juga ingin mengenakan make-up dan busana dari brand ternama. Ia ingin mencoba beragam style dalam setiap kesempatan. Yah, ia ingin jadi bunglon yang mampu berubah-ubah. Mengubah tampilan sesuai dengan karakternya sapertinya sangat menyenangkan. Tidak selalu menjadi anak rumahan yang gayanya out of style, bermake-up sederhana dan tatanan rambut yang diikat atau digerai saja. Ia bosan dengan semua rutinitas dan kebiasaan ini. ia sangat bosan.
Ia mendambakan kehidupan glamour layaknya Kate Moss, sang supermodel idolanya.
***
Untuk kesekian kalinya Mbah Anun menyambangi rumah yang hanya berpenghuni malam hari itu. Tapi kali ini ia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Hanya secarik kertas kumal bertuliskan dua buah nama perempuan. Kedua nama itu ditulis dengan tinta hitam tebal dan berukir indah. Mbah Anun tak tahu apakah kertas ini memiliki hubungan dengan sesosok yang tengah diintainya. Tetapi tak ada salahnya aku mengantongi kertas ini, pikir beliau.
***
Mbah Anun sudah seminggu penuh mencari informasi tentang Marni. Ia tidak tahu apa yang menggerakkan hatinya ingin mengetahui latar belakang gadis gila itu. Ia merasa sangat kasihan. Ia juga penasaran apa penyebab kegilaan yang diderita Marni.
Pencariannya menghantarkannya ke kecamatan yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari kediamannya. Setelah sekian lama berjalan, naluri perempuannya yang kuat menuntunnya ke sebuah rumah megah tapi terkesan suram di ujung gang. Rumah bercat cokelat muda itu berdiri kokoh dan terkesan angkuh diantara rumah-rumah sederhana lainnya.
Mbah Anun menekan bel di luar pagar dengan hati-hati. Seorang wanita dengan umur berkisar tiga puluh empat-tiga puluh lima keluar dari dalam rumah. Perawakannya tinggi, sedikit kaku dan terkesan angkuh.
“Cari siapa ya?” tanya perempuan itu seraya membungkuk sedikit melihat Mbah Anun.
Mbah Anun tersenyum ragu-ragu.
“Saya..hmm….saya ingin..” Mbah Anun tidak tahu bagaimana mesti menjawabnya. Ketika beliau tengah melirik kiri kanan, matanya bersirobok dengan sebuah foto berpigura yang dipajang di teras rumah.
“ Sepertinya saya tidak asing dengan wajah itu…,” gumam Mbah Anun.
Nyonya rumah itu ikut memandang ke arah tatapan Mbah Anun.
“Siapa?” tanyanya.
“Gadis di foto itu….tapi di mana ya?”
“Dia?” tanya sang nyonya sedikit antusias seraya menunjuk ke arah foto yang ditatap Mbah Anun.
Mbah Anun mengangguk pelaan.
“Di mana, Bu?!” tanya si nyonya rumah sembari mengguncang bahu Mbah Anun dengan luapan emosi tak terkendali.
“Saya tidak ingat. Tapi saya pernah lihat tipikal muka seperti dia. Siapa dia? Anak ibukah?”
Nyonya itu menganguk pelan. Sangat pelan malah. Setelah mendengar jawaban Mbah Anun barusan, binar di matanya kembali meredup.
“Iya. Dia anak saya. Anak semata wayang saya. Tapi dia hilang…”
“Hilang?” ulang Mbah Anun dengan nada tak percaya.
“Yah…” balas si nyonya sembari menganguk. Nyaris saja air matanya keluar.
“Maaf. Saya tidak bermaksud untuk membuat anda sedih, Bu,” kata Mbah Anun dengan wajah menyesal.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Ibu kan cuma bertanya. Tapiii…,” si nyonya tampak ragu meneruskan ucapannya. “Maaf, apakah ibu bisa mengingat di mana ibu melihat wajah Dewi?” tanya si nyonya penuh harap.
“ Dewi?” tanya Mbah Anun bingung sebelum ia mengerti bahwa yang dimaksud Dewi adalah gadis di foto itu. “Oh ya, Dewi. Tapi saya lupa-lupa ingat dimana saya pernah melihat wajah seperti anak ibu. Yah, sayakan berjualan di pasar. Mungkin saja Dewi pernah melintas di depan saya…”
“Sudah berapa lama itu kira-kira, Bu?”
Mbah Anun terbatuk kemudian sedikit membungkuk. Dan ternyata gerakan Mbah Anun mengingatkan si nyonya rumah bahwa ia belum mempersilahkan si tamu masuk.
“Aduh, maaf Bu. Saya kelupaan. Mari masuk. Kita cerita di dalam saja.”
“Terima kasih.”
***
Dedaunan bergoyang lembut tertiup angin. Satu dua daunnya yang kering berjatuhan menimpa kepala berambut kusut masai di bawahnya. Pemilik rambut itu adalah Marni. Ia bergeming di bawah pohon itu seraya duduk dengan lengan di atas lutut. Hanya Kemuraman yang menyelimuti wajah itu. Dua butir kristal bening jatuh di pipinya yang kumal. Perlahan ia meraih sebatang ranting di sampingnya dan menggoreskannya di tanah gersang.
20. itulah goresan yang ditulis Marni di tanah.
***
“Terserah kamu, Kate. Aku nggak mau peduli lagi!”
Itulah sepenggal kata-kata yang diucapkan Diana saat meninggalkan Kate. Setelah itu, ia tidak kembali lagi. Ternyata ancaman Diana untuk hengkang dari apertemen yang sudah sejak lama ia tempati bersama Kate bukanlah gertakan sambal saja. Buktinya sampai hari ini ia tidak kembali. Sudah satu minggu lebih. Dan yang lebih menguatkan hal ini, tadi pagi orang suruhan Diana datang ke apartemen untuk mengambil barang-barang Diana. Mereka enggan menjawab pertanyaan Kate mengenai di mana Diana sekarang berada. Bahkan ketika Kate mencoba untuk menghubungi Diana, Diana sudah menon-aktifkan nomor handphonenya. Pantas saja puluhan SMS yang Kate kirim tak berbalas. Begitu juga dengan e-mail yang Kate kirim. Semuanya tak dibalas. Nampaknya Diana benar-benar ingin memutuskan hubungan pertemanan dengan Kate yang sudah terbina selama enam tahun.
Kate mendesah. Tak terasa air matanya sudah mengalir deras di pipinya yang mulus. Sampai kapan aku bisa bermusuhan dengan air mata?
Tiba-tiba bel pintu apartemen berdering. Kate berharap sekali yang datang itu adalah Diana, sahabat sejatinya. Tapi ia harus kecewa. Ternyata itu adalah seorang pengantar bunga yang membawakan sebuket bunga mawar putih untuknya.
“Dari Mas Sofyan, Mbak. Ini kartu ucapannya. Oh ya, sekalian juga saya mau ucapin selamat ulang tahun ya Mbak Kate. Semoga sukses selalu.”
Kate tersentak. Apa? Aku ultah? Gumamnya dalam hati. Tanggal berapa sih sekarang? Kok aku bisa lupa?? Gumamnya lagi sembari melirik ke arah kalender. Angka tiga belas di bulan ke dua sudah dilingkari warna merah tebal.
“Oh, eh, ya. Terima kasih ya, Mas. Terima kasih juga atas ucapannya dan doanya.”
Pengantar bunga itu tersenyum senang.
Kate menutup pintu apartemenya lagi. Ia menatap kalender itu lekat. Ia masih ingat kalau Diana yang meningkari hari lang tahunnya itu. Tapi sekarang sahabat yang paling dikasihinya itu sudah meninggalkan dia.
Kate memutar voice message dari orang-orang yang mengucapkan happy birthaday padanya. Ia berharap setidaknya Diana masih sudi memberi ucapan selamat atas hari lahirnya yang ke dua puluh itu. Tapi ia harus menelan kekecewaan. Tidak ada ucapan selamat dari Diana. Kate yakin Diana tidak lupa. Sudah sebegitu besarkah benci Diana pada diriku?
Kate menangis tersedu-sedu. Ia membanting semua barang-barang yang berada di dekatnya. Guci-guci pecah, bunga berserakan, kursi jungkir balik dan lukisan jatuh semua ke lantai.
Ini semua lagi-lagi gara mereka. Mereka pembawa sial di kehidupanku. Bahkan setelah aku memutuskan hubungan dengan mereka. Bangsat! Sampai kapan mereka akan membuatku sengsara?!
***
Marni menangis sesunggukan. Guratan angka 20 yang dibuatnya sudah tak berbentuk. Ia meraih semua yang ada didekatnya. Ia meraup dedaunan, mencabuti rerumputan, mematahkan ranting dan mencabik-cabik kelopak lily. Semuanya itu ia hambur-hamburkan di tanah. Kemudian ia menggeleng-geleng seraya menceracau tak jelas.
***
VI
“Dewi meninggalkan rumah ini tiga tahun yang lalu. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Ia keluar dari rumah dengan melompati tembok belakang ketika kami masih tidur. Tidak ada satu barangpun yang ia bawa. Hanya pakaian di badannya saja. Aku dan papanya sudah sekian lama mencarinya. Tapi Dewi seakan di telan bumi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat anak kami. Ia hilang, Bu. Makanya kami sengaja memajang foto Dewi di depan rumah. Siapa tahu ada orang yang pernah melihat gadis yang ciri-cirinya seperti Dewi,” tutur Nyonya Hendrawan beruarai air mata.
Mbah Anun terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
“Makanya besar sekali pengharapan saya tadi ketika ibu bilang pernah melihat gadis seperti Dewi.”
Mbah Anun tersenyum kecut.
“Sekali lagi saya minta maaf, Bu.,” jawabnya dengan penuh penyesalan.
Nyonya Hendrawan mengangguk.
“Sekarang saya dan keluarga pasrah, Bu. Hanya keajaiban dan pertolongan Tuhan yang bisa membawa Dewi pulang ke rumah ini. tindakan kami yang kasar sepanjang hidupnya di rumah ini mungkin tidak bisa ia maafkan.”
“Maksud ibu?”
“Aku dan papa mendidik Dewi secara keliru. Kami kerap memukuli dan menyiksa dia saat ia berbuat salah. Padahal kami hanya ingin Dewi, putri kami satu-satunya menjadi anak yang bisa menggantikan kami. Tapi Dewi tidak bisa menerima perlakuan itu. Ia menjadi anak yang kaku dan pendendam. Ia mungkin merasa kebebasannya dikekang di rumah ini. puncaknya ia melawan kami habis-habisan saat papanya merencanakan menikahkannya dengan rekan bisnis. Ia berkata dengan mata berkilat-kilat dan malam harinya ia kabur dari rumah tanpa jejak hingga hari ini tak pernah kembali.”
***
“Semuanya hilang! Hilang!” jerit Kate penuh kepedihan.
Sekarang ia seorang diri lagi di dunia yang hiruk pikuk ini. Di tengah kesuksesannya sebagai seorang supermodel. Di tengah kilatan lampu blitz dan elu-eluan para fansnya. Di tengah keramain metropolitan. Ia tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Diana, teman sejatinya pun sudah enggan untuk mendengar keluh-kesahnya tentang semua dendam yang terus menerus membayangi setiap langkahnya.
***
Ada rasa yang tak bisa diungkapkan dalam hati Mbah Anun. Ia mengetahui semua problem pelik ini, sekaligus tak mengerti. Cuplikan-cuplikan memori yang pernah ia lihat perlahan-lahan mengalir secara acak di otaknya yang mulai melemah.
“Boleh aku melihat barang-barang Dewi, Bu? Barangkali aku bisa mengingat-ingat di mana aku pernah melihat wajah seperti milik Dewi dengan ingatanku yang makin melemah ini.”
Nyonya Hendrawan mengangguk. Apapun akan ia lakukan untuk menemukan Dewi kembali. Ia pun mengajak Mbah Anun ke kamar Dewi.
Hawa dingin langsung menyambut tengkuk Mbah Anun. Kamar itu rapi dan bersih. Rupanya tuan rumah selalu membersihkan kamar itu dari debu meskipun penghuninya tak ada. Yang Mbah Anun tangkap dari kamar itu adalah bahwa Dewi penggemar berat seorang wanita barat yang cantik dan gaul. Hal itu terbukti dari poster-poster wanita tersebut hampir menutupi dinding kamar.
“Dewi penggemar Kate Moss, wanita dalam poster-poster itu,” terang Nyonya Hendrawan. “Aku baru tahu saat Dewi sudah tak ada di rumah ini. Selama ini tak pernah sekalipun aku memasuki kamar Dewi sejak ia berumur empat belas tahun,” air mata Nyonya Hendrawan kembali menetes. “ Aku memang bukan ibu yang baik buat Dewi. Aku tidak pernah memperhatikan dia secara detil. Bahkan kapan pertama kali ia haid pun aku tak tahu. Ia ulang tahun aku tak peduli. Dulu kupikir sikapku itu bisa membuat Dewi menjadi mandiri seperi aku. Karena aku juga di didik seperti itu. Ternyata aku salah. Aku keliru besar tidak bisa memahami karakter Dewi..huukk..uk..,” Nyonya Hendrawan menangis sesunggukan.
“Semuanya jadi pelajaran, Bu. Apa yang menurut kita baik belum tentu begitu juga buat orang lain. Jadi begitu bodohnya kita bila selalu berlaku egois pada orang lain. Egois dan kesombongan dirilah yang terkadang menjatuhkan kita ke jurang paling dalam kehidupan. Tak jarang orang jadi gila akibat kesombongan dan menjadi jerat bagi dirinya sendiri,” kata Mbah Anun bijak.
Nyonya Hendrawan mengangguk.
“Ini buku-buku Dewi. Ia anak yang pintar. Meskipun ia selalu berada di bawah tekanan. Tapi kami tak pernah sekalipun menyanjungnya atas apa saja prestasi yang ia raih. Karena kami merasa itu semua berkat didikan kami. Akh, seandainya dulu aku bisa memahami Dewi, begitu bangganya aku memiliki Dewi,” kata Nyonya Hendrawan sembari membuka lembar demi lembar buku tulis dewi dengan tatapan penuh kerinduan.
Mbah Anun terperanjat. Tulisan tangan itu…,gumamnya dalam hati.
***
Mbah Anun membuka matanya perlahan-lahan. Pertama-tama terasa kabur. Kemudian mulai terang dan tiga orang menatap dirinya dengan cemas.
“Buu..bu…ibu sudah sadar?”
Mbah Anun mengangkat kepalanya.
“Apa yang terjadi padaku, Bu?” tanya.
“Ibu pingsan saat berada di kamar milik Non Dewi,” jawab seorang lelaki berpakaian satpam.
“Ibu mungkin kelelahan,” sambung Nyonya Hendrawan seraya mengambil segelas teh dari atas meja.
Mbah Anun mengangguk. Ia tidak yakin dengan semua yang telah ia ketahui. Semuanya serba kebetulan. Ataulah ini memang takdir Tuhan untuk mempertemukan keluarga Hendrawan dengan anak mereka yang sudah tiga tahun Hilang lewat perantara dirinya?
Mbah Anun menggeleng-geleng. Teka teki itu akhirnya terjawab sudah. Dewi itu masih hidup. Keberadaannya hanya beberapa kilometer dari sini. Dan secarik kertas bertuliskan Kate dan Diana: friendship forever yang ia temukan di rumah tua itu adalah milik Dewi. Sementara Yang ia lihat selama ini setiap malam benar adanya kalau ternyata Marni hanya pura-pura Gila. Oh Tuhan, seberat itukah yang harus dia tanggung? Pura-pura gila untuk mendapatkan kebebasannya??
***
Kate menangis tanpa air mata. Air matanya sudah habis. Bahkan jika bisa ia ingin membeli air mata untuk menumpahkan kekesalannya. Kehidupannya benar-benar buruk. Ia bosan dengan semua peremaianan ini. kebencian. Dendam. Kemarahan.
Kate sudah nggak ada lagi sekarang seiring berlalunya Diana dari kehidupannya. Yang tertinggal hanyalah sebentuk tubuh kotor dan berpakaian compang-camping di bawah naungan bayang-bayang pohon yang mulai memudar.
Selamat tinggal Kate, idolaku selalu, selamat tinggal Diana, belahan jiwaku, selamat tinggal Dewi, masa lalu kelamku.
Dan selamat datang Marni, simbol kebebasanku!
Kamis, 25 Februari 2010
Sabtu, 06 Februari 2010
Fitrah Dalam Naungan
Fitrah Dalam Naungan
Oleh Helen Haryadi
Bandara, 15 Juni Xy.
Di sebuah bandara, seorang gadis berusia sekitar dua puluhan mendorong koper travelnya sambil celingak-celinguk mencari sesuatu. Gadis itu berkulit langsat, namun bermata biru. Rambutnya yang hitam lurus terurai sampai di bawah bahunya. Badannya tinggi semampai sangat sesuai dengan terusan kuning yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Di tangannya tergantung jaket berbahan woll berlapis sutera yang dikenakannya di pesawat tadi. Beberapa berlian menjuntai berkilauan menghias kalung yang melingkari leher jenjangnya. Modis. Sangat modis. Itulah kesan yang pasti ditimbulkan di setiap mata yang memandangnya.
Tak lama ia berjalan, akhirnya bibir tipisnya mengeluarkan senyum tipis pula yang menawan. Ia melihat papan kecil bertuliskan “WELCOME TO INDONESIAN, MISS VIENNECE”. Ia segera menuju orang yang memegangi papan tersebut.
“Thanks Mister, telah menyambut saya,” katanya sembari mengulurkan tangan. Di depannya pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun tersenyum ramah.
“Ini sudah menjadi tugas saya. Mari saya antarkan ke kedutaan,”balasnya ramah. Tangan Miss Viennece tidak disambutnya. Ia malah segera berbalik sambil mendorong koper Mis Viennece.
”Hh, Daddy, Indonesian so bad. Everyone in here never know greet!! I want back home, Daddy. I dislike Indonesian ! I’m Viennece Rindgrand Harv!! The best student of Australian University ! No one can’t like me! So, each mystep and say I’m the best !! Anywhere…!!!” ***
Blackpearl Hotel, 20 Juni Xy.
Dear Dady,
Dad, saya sangat prihatin dengan Indonesian! Wajar negara ini never Going up! Sudah lima hari saya stay at this hotel. Nope, Daddy!! Mister Brann, perwakilam kedutaan Australian say this is best hotel in this town. But, are you believe Dad? Shower, Dad! Shower! Just shower yang ada di sini. Tak ada bathtub! Apalagi seperti bathtub yang di rumah. Bisakah kau bayangkan Dad? Seorang Viennece dan shower?
And then, baru dua hari yang lalu Dad, I saw orang aneh di sini. Di kamar-kamar sebelah saya, semua wanitanya memakai baju jiran, Dad! Mereka menutup kepala mereka dengan kain yang tebal. Baju-baju mereka juga seperti mantel teball musim dingin ! Setahu saya, di sini tak ada winter! Dan sudah jelas, di sini sangat panas. Setelah saya bertanya tentang baju Jiran itu kepada Mr. Brann, Daddy tahu apa yang dia katakan?
ISLAM.
ISLAM, Dad. Saya sangat takjub. In the technology’s era like that, masih ada faham sesat seperti Islam ini. Apakah orang-orang di sini tidak berfikir, tidakkah mereka jengah menyembah Tuhan yang jelas-jelas tidak ada? Ke manakah logika mereka?
Saya jijik melihat mereka. Saya sudah minta changed kamar dengan Mr. Brann, tapi shit! Nothing kamar lain yang kosong. Hanya satu kamar kosong di kompleks Islam ini. Nope Dad! ***
Town Library, 1 Juli Xy.
“This is Indonesian languages books, Vienn,” Rani tersenyum sambil menunjuk rak biru diantara rak-rak lain.
“Oh, thank you. Saya rasa saya akan mengambil yang so thick. Saya tidak betah baca lama-lama.”
“Bagaimana Indonesia, Vienn?” kali ini Sita yang bertanya.
“Em…I think indonesia lumayan bagus. Orangnya ramah-ramah,” jawaban yang seadanya. Vienn masih sibuk mencari buku yang sesuai seleranya. Tiba-tiba ia melihat sebuah buku terselip di antara buku-buku bahasa.
ISLAM DAN LOGIKA.
Judul besar tertulis di sampul buku itu. Vienn terhenyak. Ia membuka buku itu. Gemetaran tangannya membaca buku itu. Satu hal yang tak pernah terpikir olehnya. Menembus logika Islam…beginikah Islam?
“Vienn, come on kita kembali ke hotel. Sudah waktunya lunch.”
“I, iya.” Tanpa sepengetahuan yang lain, Vienn membeli buku itu dan segera membayarnya sebelum yang lain menyadari. Buku itu dimasukannya dalam tas kemudian dipegangnya tasnya erat-erat. Seolah takut buku itu raib. Ia sendiri tak mengerti apa yang terjadi, tapi kehenyakan yang sangat hebat menghancurkan keraguannya.. Dalam hatinya ia merasa inikah kebenaran? ***
Blackpearl Hotel, 2 Juli Xy.
Dearest Daddy,
Dad, ternyata orang-orang di sini tidak seburuk dugaan saya. Semuanya ramah pada saya . They always help me too. Saya sekarang sudah bisa berteman dengan mereka. Last day mereka mengajak saya ke library. Di sana saya memebeli buku. Buku Islam Dad. Maybe Daddy mengira saya sudah gila. And… maybe daddy,s right. Tapi saya rasa buku itu menarik Dad. Daddy juga harus membacanya ketika saya sudah kembali ke Australia nanti. Di sini juga banyak orang-orang berintelektual. Di sini saya perlahan mengerti saya bukan orang yang paling the best.
You know, Daddy? Saya sangat terkejut dengan pandangan saya. First, saya menganggap orang-orang, yah, maksud saya wanita-wanita berbaju Jiran yang mereka sebut Hijab itu sangat rendah. Rendah sekali malah. But now, entah mengapa mereka terlihat sangat teduh. Ya, teduh. Mereka berkata Hijab yang mereka kenakan itu sangat nyaman dipakai. Shit ! Naif ! I know mereka sangat naif Daddy.
Daddy, saya ingin cepat menyelesaikan tugas kedutaan ini lalu segera kembali ke Australia. Di sini pikiran saya kacau. Mungkin karena cuaca di sini tidak cocok untuk saya. ***
History Museum, 7 Juli Xy.
Hari ini Viennece mengunjungi museum sejarah diantar oleh Mr. Brann untuk menyelesaikan tugasnya agar ia bisa cepat-cepat kembali ke Australia.
“Miss Vienn, sudah waktunya pulang.”
“Sebentar Mister. Saya harus ke toilet dulu. Mister tunggu saja di mobil. Sepuluh menit saya menyusul.”
“Tidak apa-apakah Miss?”
“Saya bukan lagi baby, Brann! Ayolah! Saya tak suka kamu mengawal saya sampai ujung dunia sekalipun.”
“Ok. It’s up to you, Miss. Want something?”
“Nope!”
Vienn pergi ke toilet. Ia bingung. Di hotel kedutaan many girls yang berpakaian Jiran. Namun ketika ia ke tengah-tengah town, hanya beberapa saja yang terlihat mengenakan pakaian seperti Rani dan yang lainnya itu.
“Yah, ok. It’s Indonesian, not at Australian,”ia bergumam dalam hati.
Begitu keluar dari gedung museum Vienn tidak menemukan mobil kedutaan Brann. Ia mulai panik.
“Hey, Stop this Kidding! It’s not fun, Mister Brann!”
Namun tetap saja Mr. Brann tidak ada. Vienn cemas. Dia tidak tahu berapa jarak museum ini dengan hotel. How far? Bertambah cemasnya ia saat menyadari Handphone dan pagernya tertinggal di dalam mobil.
Ia kembali ke museum dan bertanya kepada resepsionis.
“Bagaimana saya bisa temukan Blackpearl Hotel?”
Resepsionis itu bingung dengan pronounsation Vienn yang kacau.
“Blackpearl Hotel? Apakah anda wakil kedutaan?’
“Right! I’m from Australian.”
“Oh, jika ingin ke Blackpearl anda bisa naik kereta atau taksi.”
“Tell me which better?”
“Lebih aman jika anda naik kereta. Malam-malam begini naik taksi berbahaya. Apalagi untuk anda Nona.”
Vienn keluar. Dalam hatinya menggerutu, “Shit! Brann Shit! Seorang Viennece naik kereta? Nope! Kamu harus bayar mahal ini semua, Brann!”
Ya, Vienn tidak punya pilihan lain. Ia segera naik kereta dan duduk manis di sana. Dia membayangkan seandainya Daddy tahu hal ini, Daddy tentu akan menuntut kedutaan! Ya, apa yang tidak Daddy lakukan untuknya? Untuknya yang hanya semata wayang setelah Mommy meninggal tepat sebulan setelah ia lahir. Bahkan untuk menemaninya bermain saat Daddy pergi bekerja, Daddy mengadopsi seorang anak perempuan dari panti. Dan sekarang adik angkat yang hanya berselisih satu tahun darinya itupun sudah besar dan sudah duduk di bangku kuliah pula.
Orang-orang di kereta tiba-tiba ribut. Vienn mulai terganggu. Ia bertanya pada anak Senior high school di sebelahnya.
“Apa yang terjadi?”
“Ndak tahu Mbak! Kayaknya kereta ini bermasalah.”
“Bermasalah?”
Belum sempat menjelaskan, tiba-tiba pemuda tadi berlari meninggalkannya. Orang-orang juga berlarian. Sepertinya panik. Vienn maju ke depan. Ingin tahu apa yang terjadi.
“Hey Sir! What happen?!”
“Sebentar lagi kereta ini akan tabrakan dengan kereta jurusan berlawanan karena kesalahan waktu keberangkatan !” jelas masinis terputus-putus karena cemas.
“Kalau begitu berhentikan kereta ini!! Hurry up!!”
“Tidak bisa!! Kereta ini kereta listrik Otomatis!”
“Nope!! Turunkan saya!”
“Silahkan kalau bisa! Dalam kecepatan seperti ini, tidak mungkin.”
“Lalu apa yang harus dilakukan?”
“Berdoa saja Neng! Berlindunglah di bawah kursi.”
“Shit!” teriak Vienn sambil berlari ke belakang. Berdoa? Kepada siapa ia berdoa? Siapa Tuhannya? Bukankah sejak kecil ia tidak diberitahu siapa Tuhannya?
Vienn baru akan bersembunyi saat ia melihat cahaya lampu kereta tepat di depan keretanya melesat dengan kecepatan tinggi ! Saat terakhir hanya satu kalimat yang diingatnya yang dari dalam hatinya terus ingin dikeluarkannya.
“Allahu Akbar !!!”
BRAKKK!!!!
Semuanya gelap.***
Blackpearl Hotel, 2 Agustus Xy.
Dearest Daddy,
Dad, sudah hampir 3 minggu saya pulang dari hospital. Luka saya lumayan sembuh. Hanya luka di pipi kanan ini kata dokter akan membekas.
Daddy, saya telah memilih jalan saya. Sekarang saya adalah muslimah, Dad. Selama saya di hospital saya terus bermimpi saya berada di tempat yang gelap dan suara alunan Qur’an membuat saya sadar dan di samping saya ada Rina dan yang lain melantunkan kitab suci itu. Ya, Dad Al-Qur’an adalah kitab saya sekarang. Mungkin Daddy akan menentang saya. Tapi saya telah memilih jalan saya, Dad. Saya harap Daddy mengerti dan suatu saat juga bisa membuka hati untuk Islam.
Dad, sekarang Tuhan saya adalah Allah. Dialah yang menciptakan kita semua Dad. Saya sadar disaat tidak bisa lagi logika saya menyelamatkan saya, saya butuh pencipta. Saya tidak mau sendiri.
Dad, sebentar lagi saya kembali ke Australia. Kata Rina, di sana ada Islamic Center tempat saya bertemu saudara-saudara seiman saya. Saya akan sering ke sana.
Dad, Islam itu indah. Saya akan mengenalkannya pada Daddy.
See you.***
5 Agustus Xy.
Epilog:
Vienn pamit dengan teman-teman sekompleks kamarnya.
Sebelum pergi banyak yang menghadiahinya jilbab, Al-Qur’an dan alat sholat.
Kathrin mengambil tas sandangnya.
“Thank you. Saya tidak akan pernah lupakan kalian.”
Vienn tersenyum. Setetes air mata jatuh dan membasahi jilbab biru muda yang dipakainya. Segera diusapnya. Ia akhirnya masuk ke mobil menuju bandara Soekarno-Hatta dan naik pesawat menuju Australia.
Dua Hari kemudian…
“Astaghfirullah!!” Rina menjerit dari kamar hotelnya. Yang lain menghampirinya. Rina gemetar dan air matanya perlahan mengalir. Ditunjukkannya koran di bawah kursinya. Tertulis di sana:
“PESAWAT JURUSAN AUSTRALIA DARI BANDARA SOEKARNO-HATTA KEMARIN JATUH DAN DIPASTIKAN SEMUA PENUMPANGNYA MENINGGGAL.”
Di daftar penumpang yang jasadnya telah dievakuasi terdapat nama Viennece Rindgrand Harv.***
THX 4 MY FLEND, WINDA WARSITA. WHERE ARE U WIN??
Oleh Helen Haryadi
Bandara, 15 Juni Xy.
Di sebuah bandara, seorang gadis berusia sekitar dua puluhan mendorong koper travelnya sambil celingak-celinguk mencari sesuatu. Gadis itu berkulit langsat, namun bermata biru. Rambutnya yang hitam lurus terurai sampai di bawah bahunya. Badannya tinggi semampai sangat sesuai dengan terusan kuning yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Di tangannya tergantung jaket berbahan woll berlapis sutera yang dikenakannya di pesawat tadi. Beberapa berlian menjuntai berkilauan menghias kalung yang melingkari leher jenjangnya. Modis. Sangat modis. Itulah kesan yang pasti ditimbulkan di setiap mata yang memandangnya.
Tak lama ia berjalan, akhirnya bibir tipisnya mengeluarkan senyum tipis pula yang menawan. Ia melihat papan kecil bertuliskan “WELCOME TO INDONESIAN, MISS VIENNECE”. Ia segera menuju orang yang memegangi papan tersebut.
“Thanks Mister, telah menyambut saya,” katanya sembari mengulurkan tangan. Di depannya pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun tersenyum ramah.
“Ini sudah menjadi tugas saya. Mari saya antarkan ke kedutaan,”balasnya ramah. Tangan Miss Viennece tidak disambutnya. Ia malah segera berbalik sambil mendorong koper Mis Viennece.
”Hh, Daddy, Indonesian so bad. Everyone in here never know greet!! I want back home, Daddy. I dislike Indonesian ! I’m Viennece Rindgrand Harv!! The best student of Australian University ! No one can’t like me! So, each mystep and say I’m the best !! Anywhere…!!!” ***
Blackpearl Hotel, 20 Juni Xy.
Dear Dady,
Dad, saya sangat prihatin dengan Indonesian! Wajar negara ini never Going up! Sudah lima hari saya stay at this hotel. Nope, Daddy!! Mister Brann, perwakilam kedutaan Australian say this is best hotel in this town. But, are you believe Dad? Shower, Dad! Shower! Just shower yang ada di sini. Tak ada bathtub! Apalagi seperti bathtub yang di rumah. Bisakah kau bayangkan Dad? Seorang Viennece dan shower?
And then, baru dua hari yang lalu Dad, I saw orang aneh di sini. Di kamar-kamar sebelah saya, semua wanitanya memakai baju jiran, Dad! Mereka menutup kepala mereka dengan kain yang tebal. Baju-baju mereka juga seperti mantel teball musim dingin ! Setahu saya, di sini tak ada winter! Dan sudah jelas, di sini sangat panas. Setelah saya bertanya tentang baju Jiran itu kepada Mr. Brann, Daddy tahu apa yang dia katakan?
ISLAM.
ISLAM, Dad. Saya sangat takjub. In the technology’s era like that, masih ada faham sesat seperti Islam ini. Apakah orang-orang di sini tidak berfikir, tidakkah mereka jengah menyembah Tuhan yang jelas-jelas tidak ada? Ke manakah logika mereka?
Saya jijik melihat mereka. Saya sudah minta changed kamar dengan Mr. Brann, tapi shit! Nothing kamar lain yang kosong. Hanya satu kamar kosong di kompleks Islam ini. Nope Dad! ***
Town Library, 1 Juli Xy.
“This is Indonesian languages books, Vienn,” Rani tersenyum sambil menunjuk rak biru diantara rak-rak lain.
“Oh, thank you. Saya rasa saya akan mengambil yang so thick. Saya tidak betah baca lama-lama.”
“Bagaimana Indonesia, Vienn?” kali ini Sita yang bertanya.
“Em…I think indonesia lumayan bagus. Orangnya ramah-ramah,” jawaban yang seadanya. Vienn masih sibuk mencari buku yang sesuai seleranya. Tiba-tiba ia melihat sebuah buku terselip di antara buku-buku bahasa.
ISLAM DAN LOGIKA.
Judul besar tertulis di sampul buku itu. Vienn terhenyak. Ia membuka buku itu. Gemetaran tangannya membaca buku itu. Satu hal yang tak pernah terpikir olehnya. Menembus logika Islam…beginikah Islam?
“Vienn, come on kita kembali ke hotel. Sudah waktunya lunch.”
“I, iya.” Tanpa sepengetahuan yang lain, Vienn membeli buku itu dan segera membayarnya sebelum yang lain menyadari. Buku itu dimasukannya dalam tas kemudian dipegangnya tasnya erat-erat. Seolah takut buku itu raib. Ia sendiri tak mengerti apa yang terjadi, tapi kehenyakan yang sangat hebat menghancurkan keraguannya.. Dalam hatinya ia merasa inikah kebenaran? ***
Blackpearl Hotel, 2 Juli Xy.
Dearest Daddy,
Dad, ternyata orang-orang di sini tidak seburuk dugaan saya. Semuanya ramah pada saya . They always help me too. Saya sekarang sudah bisa berteman dengan mereka. Last day mereka mengajak saya ke library. Di sana saya memebeli buku. Buku Islam Dad. Maybe Daddy mengira saya sudah gila. And… maybe daddy,s right. Tapi saya rasa buku itu menarik Dad. Daddy juga harus membacanya ketika saya sudah kembali ke Australia nanti. Di sini juga banyak orang-orang berintelektual. Di sini saya perlahan mengerti saya bukan orang yang paling the best.
You know, Daddy? Saya sangat terkejut dengan pandangan saya. First, saya menganggap orang-orang, yah, maksud saya wanita-wanita berbaju Jiran yang mereka sebut Hijab itu sangat rendah. Rendah sekali malah. But now, entah mengapa mereka terlihat sangat teduh. Ya, teduh. Mereka berkata Hijab yang mereka kenakan itu sangat nyaman dipakai. Shit ! Naif ! I know mereka sangat naif Daddy.
Daddy, saya ingin cepat menyelesaikan tugas kedutaan ini lalu segera kembali ke Australia. Di sini pikiran saya kacau. Mungkin karena cuaca di sini tidak cocok untuk saya. ***
History Museum, 7 Juli Xy.
Hari ini Viennece mengunjungi museum sejarah diantar oleh Mr. Brann untuk menyelesaikan tugasnya agar ia bisa cepat-cepat kembali ke Australia.
“Miss Vienn, sudah waktunya pulang.”
“Sebentar Mister. Saya harus ke toilet dulu. Mister tunggu saja di mobil. Sepuluh menit saya menyusul.”
“Tidak apa-apakah Miss?”
“Saya bukan lagi baby, Brann! Ayolah! Saya tak suka kamu mengawal saya sampai ujung dunia sekalipun.”
“Ok. It’s up to you, Miss. Want something?”
“Nope!”
Vienn pergi ke toilet. Ia bingung. Di hotel kedutaan many girls yang berpakaian Jiran. Namun ketika ia ke tengah-tengah town, hanya beberapa saja yang terlihat mengenakan pakaian seperti Rani dan yang lainnya itu.
“Yah, ok. It’s Indonesian, not at Australian,”ia bergumam dalam hati.
Begitu keluar dari gedung museum Vienn tidak menemukan mobil kedutaan Brann. Ia mulai panik.
“Hey, Stop this Kidding! It’s not fun, Mister Brann!”
Namun tetap saja Mr. Brann tidak ada. Vienn cemas. Dia tidak tahu berapa jarak museum ini dengan hotel. How far? Bertambah cemasnya ia saat menyadari Handphone dan pagernya tertinggal di dalam mobil.
Ia kembali ke museum dan bertanya kepada resepsionis.
“Bagaimana saya bisa temukan Blackpearl Hotel?”
Resepsionis itu bingung dengan pronounsation Vienn yang kacau.
“Blackpearl Hotel? Apakah anda wakil kedutaan?’
“Right! I’m from Australian.”
“Oh, jika ingin ke Blackpearl anda bisa naik kereta atau taksi.”
“Tell me which better?”
“Lebih aman jika anda naik kereta. Malam-malam begini naik taksi berbahaya. Apalagi untuk anda Nona.”
Vienn keluar. Dalam hatinya menggerutu, “Shit! Brann Shit! Seorang Viennece naik kereta? Nope! Kamu harus bayar mahal ini semua, Brann!”
Ya, Vienn tidak punya pilihan lain. Ia segera naik kereta dan duduk manis di sana. Dia membayangkan seandainya Daddy tahu hal ini, Daddy tentu akan menuntut kedutaan! Ya, apa yang tidak Daddy lakukan untuknya? Untuknya yang hanya semata wayang setelah Mommy meninggal tepat sebulan setelah ia lahir. Bahkan untuk menemaninya bermain saat Daddy pergi bekerja, Daddy mengadopsi seorang anak perempuan dari panti. Dan sekarang adik angkat yang hanya berselisih satu tahun darinya itupun sudah besar dan sudah duduk di bangku kuliah pula.
Orang-orang di kereta tiba-tiba ribut. Vienn mulai terganggu. Ia bertanya pada anak Senior high school di sebelahnya.
“Apa yang terjadi?”
“Ndak tahu Mbak! Kayaknya kereta ini bermasalah.”
“Bermasalah?”
Belum sempat menjelaskan, tiba-tiba pemuda tadi berlari meninggalkannya. Orang-orang juga berlarian. Sepertinya panik. Vienn maju ke depan. Ingin tahu apa yang terjadi.
“Hey Sir! What happen?!”
“Sebentar lagi kereta ini akan tabrakan dengan kereta jurusan berlawanan karena kesalahan waktu keberangkatan !” jelas masinis terputus-putus karena cemas.
“Kalau begitu berhentikan kereta ini!! Hurry up!!”
“Tidak bisa!! Kereta ini kereta listrik Otomatis!”
“Nope!! Turunkan saya!”
“Silahkan kalau bisa! Dalam kecepatan seperti ini, tidak mungkin.”
“Lalu apa yang harus dilakukan?”
“Berdoa saja Neng! Berlindunglah di bawah kursi.”
“Shit!” teriak Vienn sambil berlari ke belakang. Berdoa? Kepada siapa ia berdoa? Siapa Tuhannya? Bukankah sejak kecil ia tidak diberitahu siapa Tuhannya?
Vienn baru akan bersembunyi saat ia melihat cahaya lampu kereta tepat di depan keretanya melesat dengan kecepatan tinggi ! Saat terakhir hanya satu kalimat yang diingatnya yang dari dalam hatinya terus ingin dikeluarkannya.
“Allahu Akbar !!!”
BRAKKK!!!!
Semuanya gelap.***
Blackpearl Hotel, 2 Agustus Xy.
Dearest Daddy,
Dad, sudah hampir 3 minggu saya pulang dari hospital. Luka saya lumayan sembuh. Hanya luka di pipi kanan ini kata dokter akan membekas.
Daddy, saya telah memilih jalan saya. Sekarang saya adalah muslimah, Dad. Selama saya di hospital saya terus bermimpi saya berada di tempat yang gelap dan suara alunan Qur’an membuat saya sadar dan di samping saya ada Rina dan yang lain melantunkan kitab suci itu. Ya, Dad Al-Qur’an adalah kitab saya sekarang. Mungkin Daddy akan menentang saya. Tapi saya telah memilih jalan saya, Dad. Saya harap Daddy mengerti dan suatu saat juga bisa membuka hati untuk Islam.
Dad, sekarang Tuhan saya adalah Allah. Dialah yang menciptakan kita semua Dad. Saya sadar disaat tidak bisa lagi logika saya menyelamatkan saya, saya butuh pencipta. Saya tidak mau sendiri.
Dad, sebentar lagi saya kembali ke Australia. Kata Rina, di sana ada Islamic Center tempat saya bertemu saudara-saudara seiman saya. Saya akan sering ke sana.
Dad, Islam itu indah. Saya akan mengenalkannya pada Daddy.
See you.***
5 Agustus Xy.
Epilog:
Vienn pamit dengan teman-teman sekompleks kamarnya.
Sebelum pergi banyak yang menghadiahinya jilbab, Al-Qur’an dan alat sholat.
Kathrin mengambil tas sandangnya.
“Thank you. Saya tidak akan pernah lupakan kalian.”
Vienn tersenyum. Setetes air mata jatuh dan membasahi jilbab biru muda yang dipakainya. Segera diusapnya. Ia akhirnya masuk ke mobil menuju bandara Soekarno-Hatta dan naik pesawat menuju Australia.
Dua Hari kemudian…
“Astaghfirullah!!” Rina menjerit dari kamar hotelnya. Yang lain menghampirinya. Rina gemetar dan air matanya perlahan mengalir. Ditunjukkannya koran di bawah kursinya. Tertulis di sana:
“PESAWAT JURUSAN AUSTRALIA DARI BANDARA SOEKARNO-HATTA KEMARIN JATUH DAN DIPASTIKAN SEMUA PENUMPANGNYA MENINGGGAL.”
Di daftar penumpang yang jasadnya telah dievakuasi terdapat nama Viennece Rindgrand Harv.***
THX 4 MY FLEND, WINDA WARSITA. WHERE ARE U WIN??
Langganan:
Postingan (Atom)